Rantai Waktu


Aku menatap sepeda itu lama sekali malam ini, rantainya terlepas dan gigi-giginya tampak kelelahan. Mungkin beginilah rasanya hidup ketika terlalu sering menempuh jalan yang sama, aus tapi penuh cerita. Aku masih ingat hari-hari ketika sepeda ini menemaniku ke kantor, melewati jalan tanah merah yang berdebu, menembus gerimis pagi yang lembut. Kini, derailer-nya tergantung lemah, seperti prajurit tua yang masih ingin berjuang, tapi sudah tak kuat lagi berdiri.

Aku tersenyum kecil, mengingat betapa keras kepalanya aku dulu. Setiap kali rantai lepas, aku selalu marah, menyalahkan sepeda, menyalahkan nasib. Tapi malam ini, aku justru merasa iba. Aku sadar, benda ini tidak pernah salah, ia hanya terlalu setia. Ia menanggung beban langkahku, hari demi hari, tanpa protes. Dan lihatlah kini, tubuhnya yang kusam masih memegang sisa-sisa keberanian untuk terus berputar, meski tak lagi mulus.

Aku berjanji pada diriku sendiri, besok pagi aku akan memperbaikinya. Mungkin dengan tangan yang gemetar dan alat seadanya, tapi dengan hati yang penuh kenangan. Karena di setiap putaran rantai yang kembali terpasang, ada masa kecilku yang ikut berputar, ada semangat yang tak mau padam. Dan aku tahu, seperti sepeda ini, aku pun masih bisa melaju, pelan tapi pasti.