Roti Widoro


Aku masih ingat wajah Iliana siang itu. Matanya yang bening seperti embun pagi menunduk malu, lalu terangkat dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Di tangannya, sepotong roti sederhana yang dibungkus plastik bening, Roti Widoro pemberian Mbah Narso. Sekilas tampak biasa, tapi aku tahu di balik roti itu tersimpan sepotong sejarah panjang yang hangat seperti aroma mentega yang baru keluar dari tungku.

Mbah Narso menatapnya sambil tertawa kecil. “Iki roti lukis, nduk. Resepnya dari jaman keraton.” Iliana hanya mengangguk, tak sepenuhnya paham, tapi senyumnya seperti mengerti lebih dari yang bisa dijelaskan kata-kata. Ia memegang roti itu hati-hati, seperti memegang surat cinta dari masa lalu.

Roti Widoro, roti yang lahir dari dapur seorang juru masak keraton bernama Mbah Wongsodinomo, hampir seratus tahun lalu. Aku bisa membayangkan lelaki tua itu, dengan tangan berlumur tepung dan mata penuh kesabaran, mencampur telur bebek, gula, dan tepung di dapur yang dindingnya menghitam oleh asap kayu bakar. Dari tangannya, aroma masa lalu mengalir, aroma yang kini menghidupi pagi-pagi di Sukoharjo, aroma yang menembus waktu dan menempel di hati orang-orang seperti Mbah Narso dan kini Iliana.

Di gigitan pertama, Iliana tertawa kecil. Ada remah di bibirnya, ada bahagia di matanya. Mungkin ia tak tahu kisah panjang yang menuntun sepotong roti itu ke pangkuannya, tapi entah bagaimana, rasa itu menyatu dalam dirinya, seolah-olah sejarah yang hangat itu menyapa lewat manis yang lembut di lidahnya.

Aku melihatnya, dan di balik tawa kecilnya, aku tahu. Inilah caranya masa lalu menyalakan masa depan. Tidak dengan cerita besar, tapi dengan sepotong roti sederhana dan senyum seorang anak kecil yang merayakan hidup dengan cara paling tulus, gigitan demi gigitan.