Malam itu kota seperti lautan cahaya yang tak pernah padam. Gedung-gedung tinggi berdiri megah, seolah ingin menyentuh langit yang sudah lama melupakan bintang-bintangnya. Kami berdiri di tepi jalan dengan anakku dalam pelukan, menatap ke atas sambil membiarkan angin malam mengusap wajah kami. Lampu-lampu mobil melintas seperti kilatan kenangan yang terburu, meninggalkan pantulan cahaya di matanya yang kecil dan ingin tahu. Dalam keheningan di antara deru kota, aku merasa sedang memperkenalkannya pada dunia yang luas, dunia yang suatu hari nanti akan ia taklukkan dengan langkah-langkah kecilnya sendiri.
Aku memandangi wajahnya yang terpantul cahaya lampu dari gedung tinggi, dan dalam sekejap semua hiruk-pikuk malam itu memudar. Hanya ada kami, terbungkus dalam rasa yang tak bisa disebut selain cinta yang lembut dan takut yang samar. Aku ingin ia tahu bahwa dunia ini indah, tapi juga keras, dan di antara keduanya ada ruang kecil tempat kasih bisa tumbuh. Di pelukanku ia bersandar, seolah mengerti bahwa di balik gemerlap ini, ada doa yang tak pernah selesai kuucap, agar langkahnya selalu ringan di jalan yang panjang nanti.
Ketika kami melangkah pergi, bayangan kami jatuh di trotoar basah, mengikuti ritme lampu kota yang berpendar. Aku menatap gedung-gedung itu sekali lagi, tinggi, berkilau, dan dingin. Di antara semua keagungan buatan manusia itu, hanya satu yang terasa benar-benar hidup malam ini, pelukan kecil di lenganku yang menghangatkan dunia. Jakarta boleh bersinar, tapi bagiku, sinar paling indah malam itu datang dari mata anakku yang memandang langit dengan rasa kagum yang murni.