Segelas Mangga


Aku menggenggam gelas itu seolah memegang kenangan yang hampir larut bersama waktu. Cairan kuningnya bergetar lembut, seakan ada kehidupan kecil di dalamnya yang sedang bermimpi menjadi matahari. Di dasar gelas, warna merah dan oranye menari seperti senja yang terperangkap, tak rela meninggalkan siang. Aku menatapnya lama, dan di antara lapisan manis itu, kulihat bayangan masa lalu yang tidak sepenuhnya hilang. Seperti seseorang yang pernah mencintaiku diam-diam lalu pergi sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.

Aroma buah yang samar naik bersama udara, membawa kembali ingatan tentang dapur tua nenekku yang selalu dipenuhi cahaya sore dan suara sendok beradu panci. Setiap lapisan dalam gelas ini terasa seperti waktu yang tak bisa bersatu, tetapi juga tak bisa benar-benar berpisah. Aku ingin percaya bahwa rasa yang tercampur di sini adalah cara alam menyembuhkan yang tak bisa diucapkan. Bahwa kemanisan dan keasaman hanyalah dua sisi dari satu keabadian kecil di lidah manusia yang masih belajar mencintai hidup.

Ketika aku mengangkat gelas itu, cahaya menembusnya dan menciptakan kilau halus di tanganku. Untuk sesaat aku merasa sedang memegang potongan langit yang jatuh, dingin namun penuh janji. Aku meminumnya perlahan, dan dunia di sekitarku berubah jadi sunyi yang lembut. Dalam keheningan itu, aku sadar bahwa yang kuminum bukan hanya minuman, melainkan waktu yang telah berhenti sejenak agar aku bisa mengingat bahwa kebahagiaan, sesederhana apa pun, selalu pantas dirayakan.