STAN


Siang itu langit tampak malu-malu menampakkan birunya, seolah ikut menyambut langkah kecil Iliana yang berlari-lari di pelataran kampusku, Politeknik Keuangan Negara STAN. Air mancur menari-nari di udara, berkilau memantulkan cahaya lembut matahari yang baru muncul dari balik awan. Aku berdiri terpaku, melihat tulisan besar di belakangnya, huruf-huruf yang dulu begitu akrab menatapku setiap pagi saat mengejar mimpi. Ada sesuatu yang menghangat di dada, seperti sepotong masa muda yang tiba-tiba pulang.

Iliana tertawa, suaranya pecah di udara seperti denting kaca yang jatuh di tengah keheningan. Ia berteriak kecil memanggilku, mengajakku melihat air yang memancar tinggi. Aku tersenyum, merasa aneh karena di tempat yang dulu penuh dengan angka, ujian, dan ambisi, kini justru kudapati sesuatu yang paling lembut: tawa seorang anak kecil yang belum mengenal arti perjuangan, tapi sudah bisa membuat segalanya terasa berarti. Mungkin inilah cara semesta menertawakan waktu, menghadirkan masa depan yang menari di depan masa lalu.

Aku berjalan perlahan mendekatinya, mencoba menahan perasaan yang datang bertubi-tubi. Kampus ini, dulu saksi dari hari-hari penuh resah dan mimpi yang nyaris padam, kini menjadi panggung kecil bagi kebahagiaan yang sederhana. Aku ingin Iliana tahu, suatu hari nanti, bahwa di tempat ini pernah ada bapaknya yang bermimpi keras dan tidak pernah berhenti berjuang. Dan hari ini, di hadapan air mancur yang tak lelah menari, aku merasa seluruh perjuangan itu menemukan maknanya kembali, dalam tawa kecil yang menggema di antara kenangan.

Saat kami hendak pulang, Iliana menoleh sekali lagi ke arah kolam air mancur, melambai dengan tangan mungilnya sambil berteriak kecil seolah berpamitan pada tempat yang baru saja menjadi bagian dari kisahnya. Aku menatapnya dan sadar, hidup ini memang lucu, dulu aku berlari di halaman ini dengan dada sesak oleh cita-cita, kini aku berjalan perlahan di tempat yang sama dengan hati penuh syukur karena telah diberi kesempatan untuk mengenalkan dunia kecilku pada dunia yang pernah membesarkanku. Langit mulai berwarna jingga, dan dalam senja yang menurun itu aku merasa masa lalu dan masa depan berpelukan lembut, diikat oleh satu hal yang sama: cinta yang tumbuh dari perjalanan yang panjang.