Hujan malam itu turun perlahan seperti kenangan yang enggan mati. Aku duduk di balik kemudi, menatap butir-butir air yang menempel di kaca depan seperti bintang-bintang kecil yang kehilangan langitnya. Setiap tetes membawa gema masa lalu, di bawah hujan yang serupa. Lampu jalan menembus air itu, menciptakan bayangan yang bergetar seolah roh-roh kecil tengah menari, mengingatkan bahwa waktu punya cara sendiri untuk berbicara pada mereka yang berani diam.
Jarum kecepatan berhenti di angka nol, dan mesin yang masih menyala berdengung lembut seperti bisikan dari dunia lain. Di balik cahaya merah dasbor yang menyerupai bara api di dada, aku merasakan sesuatu yang ganjil, seolah mobil ini bukan sekadar benda, melainkan makhluk yang memahami kesepian tuannya. Ia bernapas melalui suara mesin, ia berbicara lewat getaran halus di setir. Aku tahu jika aku menutup mata sejenak, aku bisa mendengar denyut jantungnya berpadu dengan milikku, dua makhluk yang sama-sama mencari arti di tengah malam yang basah.
Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana, hanya menatap jalan yang kabur oleh air. Barangkali di ujung pandangan itu, di balik tirai hujan, ada masa depan yang menunggu dengan sabar, atau sekadar bayangan dari masa lalu yang belum juga reda. Hujan terus menulis di kaca mobilku, menulis dengan bahasa yang hanya bisa dibaca oleh hati yang pernah kehilangan. Dan di dalam keheningan yang temaram itu, aku merasa dunia berhenti berputar, memberi ruang bagi kenangan untuk bernafas sekali lagi.
