Pagi itu sebelum berangkat kerja, aku melihat anakku duduk di lantai ruang tamu dengan wajah cerah. Di tangannya ada plastik kecil berisi susu kedelai, digenggam seperti harta karun yang tak ternilai. Ia meminumnya perlahan, sambil menatap ke arahku dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu. Sinar matahari pagi menembus dari pintu yang terbuka, menyentuh rambutnya yang masih sedikit basah, membuatnya tampak seperti lukisan yang hidup dari keheningan pagi.
Aku duduk sejenak di tepi karpet, memperhatikannya tanpa banyak bicara. Ia tampak menikmati setiap teguk susu kedelai itu dengan kesungguhan yang membuatku ingin tertawa sekaligus terharu. Di luar, waktu terus berlari, tapi di dalam ruangan kecil itu, segalanya terasa tenang. Aku merasa sedang melihat kebahagiaan paling murni, yang tak membutuhkan apa pun selain pagi yang hangat, susu sederhana, dan tawa kecil yang tulus.
Ketika aku berdiri untuk pergi, ia menatapku sambil masih memegang susu kedelainya erat-erat. Aku mencium keningnya yang harum, lalu melangkah ke luar dengan hati yang ringan. Ada sesuatu dari pagi itu yang menempel lama di pikiranku. Mungkin karena untuk pertama kalinya aku sadar, kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar, kadang cukup dari segenggam kecil susu kedelai dan senyum seorang anak yang mencintai harinya tanpa syarat.
