Pagi itu, secangkir teh hitam menjadi teman terbaikku di meja kerja. Uapnya menari pelan, seperti rahasia kecil yang tak ingin terburu-buru diungkap. Di balik cangkir kaca beningnya, aku melihat pantulan layar laptop yang menampilkan dunia lain, dunia angka, tugas, dan tenggat waktu. Tapi di sela hiruk pikuk digital itu, tehku tetap diam, sabar, seperti mengingatkanku bahwa tak semua hal harus dikejar.
Aku menatap cairan pekat itu, warnanya seperti senja yang terjebak dalam gelas. Ada hangat yang menenangkan, ada pahit yang jujur. Setiap teguknya membawa kenangan, tentang rumah di kampung, tentang ibu yang selalu menjerang air dengan sabar, tentang pagi-pagi penuh embun dan suara ayam. Di antara riuhnya kantor dan lampu putih yang dingin, rasa teh itu membawa pulang sejenak jiwaku yang lelah.
Mungkin hidup memang seperti teh ini. Kita terlalu sering fokus pada panasnya, lupa menikmati aromanya. Aku tersenyum, membiarkan pikiran melayang bersama uap tipis yang perlahan menghilang. Di layar, pekerjaan menunggu. Tapi di cangkirku, ada pelajaran kecil tentang kesederhanaan, bahwa kadang, kebahagiaan hanya perlu diseduh dengan tenang.