Hari itu langit tampak muram, tapi suasana hati kami justru hangat. Kami berdiri di depan gerbang batu bertuliskan The Bridge Coffee & Eatery, berbaris rapat seperti sekelompok sahabat yang sedang menahan waktu agar tidak bergerak. Angin gunung membawa aroma tanah basah, seolah ikut menjadi saksi perpisahan kecil kami. Di tengah tawa dan gurauan, ada satu rasa yang sama di antara kami: rasa bangga dan rindu yang sudah mulai tumbuh bahkan sebelum perpisahan benar-benar terjadi.
Aku melihat rekan kami yang akan berangkat tugas belajar berdiri di tengah, memegang bingkisan sederhana yang kami siapkan bersama. Senyumnya cerah, tapi matanya menyimpan sesuatu yang dalam. Ia akan melangkah menuju babak baru, sementara kami tetap di sini, melanjutkan hari-hari yang mungkin tak akan terasa sama. Di sela percakapan ringan, aku mendengar desau hujan yang pelan mulai turun, seakan langit pun ikut menundukkan kepala.
Kami berfoto bersama, mencoba mengabadikan satu detik yang tak akan terulang. Aku tahu, beberapa bulan dari sekarang, foto ini akan tampak seperti jembatan, menghubungkan masa lalu yang penuh tawa dengan masa depan yang belum kami kenal. Dalam setiap senyum yang tertangkap kamera, ada doa yang tak terucap, ada rasa terima kasih yang tak sempat diungkapkan dengan kata. Dan saat kami berpamitan, aku merasa bahwa perpisahan tak selalu berarti kehilangan, kadang ia hanya cara waktu mengajarkan kita untuk lebih menghargai kebersamaan.
