Anak Kecil yang Kehilangan Pundaknya


Malam itu aku menemukannya di meja makan, di antara gelas yang masih menyisakan jejak teh dan aroma melati yang samar. Lampu redup membuat sampul hitam buku itu tampak seperti pintu rahasia yang menunggu untuk dibuka. Anak Kecil yang Kehilangan Pundaknya, judulnya berdiri di sana seperti kenangan yang menolak tidur. Nana, istriku, meninggalkannya begitu saja, seolah ingin aku membacanya, seolah ingin aku menyelami sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan dengan suara.

Ketika aku mulai membaca, setiap kata terasa seperti bayangan yang hidup di sudut ruangan. Kalimat demi kalimat menetes perlahan, membawa aroma masa kecil yang terluka. Aku mendengar tawa anak kecil, tapi di ujungnya ada tangis yang nyaris tak terdengar, mungkin tangisku sendiri yang lama terkubur di bawah kesibukan menjadi orang dewasa. Cerita itu menggulungku perlahan, membuka kerinduan yang tak pernah kami akui, kerinduan pada pundak yang dulu menampung segalanya sebelum waktu mengubahnya jadi beban.

Ketika aku menutup buku itu, malam sudah semakin tua. Hujan turun dengan lembut di luar jendela, seolah menenangkan bumi yang kelelahan. Aku menatap Nana yang tertidur, wajahnya diselimuti cahaya lampu yang lembut seperti pengampunan. Aku tahu kini, buku itu bukan cerita, tapi cermin yang memantulkan kehilangan kami. Dan dalam diam malam yang panjang itu, aku berjanji akan belajar menjadi pundak yang ia cari kembali.