Ayam Goreng Mulyani Klodran


Malam itu udara membawa aroma ayam goreng dan kenangan yang belum sempat selesai. Di depan gerbang Ayam Goreng Mulyani Klodran yang diterangi lampu kekuningan, aku melihat Iliana berdiri di antara Hasna dan Hanum. Mereka bertiga memahat waktu dengan tawa yang menggema di antara daun-daun tinggi dan pot batu besar. Iliana, yang paling kecil, menggenggam ujung baju sepupunya, seolah takut angin malam mencurinya dari pelukanku.

Aku memandang mereka seperti menatap cermin masa lalu. Di wajah Hasna yang berani, kulihat jejak masa kecilku sendiri, yang dulu berlari di antara cahaya dan bayangan tanpa tahu mana yang lebih nyata. Hanum menoleh ke arahku, matanya bersinar seperti bintang yang sedang jatuh ke bumi, lalu tertawa dengan suara yang membuat segala lelah hari itu lenyap begitu saja. Dalam tawa mereka, waktu terasa melambat, seperti detik-detik menolak berpindah.

Ketika lampu di atas gerbang bergetar ditiup angin, aku merasa tempat itu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar aroma ayam goreng dan riuh pelanggan. Ada yang abadi di sana, sesuatu yang tak bisa difoto oleh kamera, hanya dirasakan oleh hati yang diam. Iliana menatap ke arahku, senyumnya kecil tapi cukup untuk menghidupkan seluruh malam. Aku tahu, dalam cahaya lembut itu, cinta kami tak akan pernah menjadi masa lalu.