Belik


Di jalan pulang dari Guci menuju Banjarnegara, udara siang yang menyala di atas ladang membuat waktu terasa mengembang seperti loyang panas. Mobil berhenti di tepi jalan berbatu, dan dari balik pintunya dunia muncul dengan warna kuning keemasan yang tak berasal dari matahari, melainkan dari buah-buah yang matang sebelum tiba di tangan manusia mana pun. Setiap detik di tempat itu mengandung rasa perjalanan yang belum selesai, seakan tanah Belik sendiri sedang menahan langkah kami.

Nana berdiri di pinggir jalan dengan dua ikatan nanas yang tampak seperti hasil panen dari kebun yang hanya tumbuh dalam mimpi petani yang sabar. Wajahnya membawa semacam kilau yang tidak berasal dari cahaya, melainkan dari kepastian sederhana bahwa hal-hal kecil dapat mengikat manusia pada bumi lebih kuat daripada doa panjang. Nanas-nanas itu menggantung di tangannya seperti lonceng kecil yang diam, namun mengabarkan kelezatan yang tak memerlukan kata.

Saat ia mengangkatnya ke arah pintu mobil, aroma manis yang lembut pecah di udara, menghapus batas antara perjalanan dan tujuan. Dalam sesaat itu, dunia menyusut menjadi momen sederhana: tanah hijau, langit yang tak peduli, dan buah-buah yang mengingatkan bahwa setiap rute pulang selalu menyimpan anugerah yang tidak direncanakan.