Bisikan Purba


Gerbang itu berdiri di hadapanku seperti penjaga waktu yang telah kehilangan tuannya. Di atasnya, huruf-huruf kusam bertuliskan Museum Manusia Purba Sangiran bergetar pelan tertiup angin sore, seolah ingin berbisik tentang rahasia tanah tua di bawahnya. Udara lembap membawa aroma dedaunan dan tanah yang basah oleh kenangan purba. Aku merasa seperti sedang berdiri di ambang dunia yang tidak lagi percaya pada waktu, tempat di mana masa lalu menolak untuk mati dan masa kini hanya berani berdiri di pinggirannya.

Aku menatap gerbang besi yang terkunci rapat. Papan kecil bertuliskan tutup menggantung lesu di sana seperti doa yang terlambat. Ada keheningan yang menekan di sekitar, hanya diselingi oleh suara burung yang berteriak dari pepohonan besar yang menaungi tempat itu. Dalam diamnya, gerbang itu memantulkan bayanganku sendiri, dan untuk sesaat aku merasa menjadi bagian dari pameran yang tak pernah selesai. Mungkin aku bukan pengunjung, melainkan artefak yang tersesat, menunggu seseorang membacakan kembali kisahku dari lapisan tanah yang dalam.

Sore mulai menua, dan cahaya langit berubah menjadi abu-abu yang lembut. Di balik pagar, aku membayangkan fosil-fosil yang tidur dalam kesabaran ribuan tahun, mendengarkan bisikan pepohonan dan langkah-langkah waktu yang tak lagi terburu-buru. Aku ingin percaya bahwa mereka tidak benar-benar mati, hanya menunggu manusia yang cukup sabar untuk mendengarkan. Dan ketika angin kembali bertiup, membawa dedaunan melintasi jalan, aku tahu bahwa tempat itu, meski tertutup, sedang berbicara, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan keabadian yang lembut seperti napas bumi sendiri.