Di hadapan Candi Arjuna di dataran tinggi Dieng, aku merasa waktu bergerak lebih lambat dari detak jantungku sendiri. Udara yang lembap memeluk kami seakan berasal dari masa lampau yang masih menyimpan bisik para resi kuno. Ketika kami mengangkat tangan dan tertawa bersama Iliana yang duduk di bahu, aku merasakan seolah candi candi itu merestui keceriaan kami dengan diam yang panjang dan penuh rahasia.
Ketika kami tiba di Telaga Menjer, kabut turun perlahan sampai membentuk tirai tipis yang memisahkan dunia kami dari dunia yang tak terlihat. Danau itu begitu tenang hingga aku merasa sedang menatap wajahku sendiri yang sedang bermimpi. Di tengah kesunyian yang nyaris suci, suara tawa Iliana memecah udara seperti mantra yang membangunkan roh tenang telaga.
Pada malam yang mulai turun, kami menemukan hidangan sederhana yang terasa seperti hadiah dari perjalanan panjang. Mie ongklok Longkrang yang mengepul membawa aroma kuah kental yang seperti menyimpan cerita dari dapur dapur para penjaga tradisi. Sate ayam tersaji dengan gemuk yang meleleh perlahan di piring kami seakan hendak bercerita tentang perjalanan dari bara menuju rasa. Saat kami makan bersama, aku merasa bahwa seluruh perjalanan hari itu telah bermuara pada momen kecil di meja sederhana ini, yang membuat dunia terasa lebih luas dan lebih hangat.
