Cilok Lagi Cilok Lagi


Sore ini aku membeli cilok ini lagi di Banjarnegara, seperti biasa, dengan bumbu atom bulan dan sedikit saus. Gerobak biru itu masih setia di bawah pohon yang sama, catnya semakin pudar namun tetap memantulkan cahaya sore yang lembut. Penjualnya bekerja dengan gerakan yang penuh kebiasaan, seolah waktu hanya berputar di sekitarnya tanpa pernah benar-benar menyentuhnya. Aku melihat uap tipis naik dari wadah cilok, dan untuk sesaat dunia tampak seperti berhenti di antara aroma tepung kenyal.

Ketika bumbu atom bulan dituangkan perlahan ke atas cilokku, aku merasakan sebuah kenangan yang tidak pernah benar-benar pergi. Di belakangku, suara kendaraan dan percakapan orang-orang seperti ombak kecil yang datang dan pergi tanpa arah, sementara aku duduk di tengahnya, menikmati keheningan yang justru terasa penuh.

Aku menggigit satu cilok dan merasakan ledakan rasa yang hangat dan gurih, seperti kisah lama yang tiba-tiba teringat tanpa sebab. Penjual itu tersenyum samar, mungkin karena tahu aku adalah pelanggan yang kembali bukan hanya untuk makan, tetapi untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang di antara hari-hari yang tergesa. Sore itu, di bawah pohon yang sama, di hadapan gerobak biru itu, aku merasa Banjarnegara masih menyimpan sebagian kecil dari diriku, yang terus menunggu di setiap tusukan cilok, di setiap tetes bumbu atom bulan yang menempel di ujung lidah.