Dari Baturraden ke Sokaraja


Aku ingat hari itu. Gerimis turun bagai kutukan abadi di atas kaca depan mobilku. Di tangan kananku tergenggam segelas plastik penuh kopi susu, seolah menyimpan seluruh rahasia musim hujan dan kemalasan dunia. Simbol tak terhingga KOPI.JJB di tengahnya seperti takdir yang tak dapat dielakkan, sebuah lingkaran yang terbuat dari keabadian dan kafein. Aku menunggu di depan sebuah loket; papan menunya tampak kabur dan tak terjangkau, seperti ilusi kebahagiaan sesaat di tengah kekelaman hari itu.

Aku tahu, begitu menghirup seteguk pertama, waktu akan berputar kembali. Aku akan merasakan getaran kecil di jantungku, gempa bumi halus yang sama seperti yang dialami para leluhurku di tengah kepungan wabah dan kesendirian, hanya demi janji manis dari satu gelas es kopi yang dingin.

Kami melanjutkan perjalanan ke Baturraden. Aku masih ingat mata Iliana, begitu bening dan riang, seolah ia baru saja kembali dari tidur panjang seratus tahun. Ia duduk di atas kursi dorongnya di tengah taman yang lembap dan liar, di mana hutan tumbuh dengan keserakahan abadi yang khas dari negeri kami. Di belakangnya, air mancur melesat lurus ke langit, bagai komet yang tersesat di siang hari bolong, sebuah kemegahan alam yang tak terjangkau. Pagar hijau yang memisahkannya dari jurang di bawah tampak terlalu rapuh untuk menahan beban kenangan yang akan ia bawa.

Aku tahu, ia belum tahu bahwa senyumnya yang polos itu adalah tipuan pertama dari takdir. Di balik semak-semak lebat itu, tersembunyi kesendirian yang tak terhindarkan. Suatu hari nanti, bertahun-tahun kemudian, aroma tanah basah dan desisan air yang menjulang ini akan kembali menghantuinya dalam mimpi-mimpi yang seindah dan sesingkat kunjungan ini.

Aku melihat mereka di undakan batu yang curam itu, seolah sedang menuruni tangga waktu menuju masa lalu yang tidak pernah benar-benar ada. Nana dengan jilbab ungunya tampak begitu sabar dan lembut, memegang ponsel seolah itu jimat kuno. Iliana berbaju merah muda berlutut di tepi parit kecil, tempat air mengalir jernih dan riang seolah tahu semua rahasia pegunungan. Ketika ia menyentuh air itu dengan telapak tangannya yang kecil, aku tahu ia sedang menyentuh bukan hanya air, tapi keabadian, menyentuh waktu yang membeku dan kenangan yang belum pernah terjadi.

Aku teringat pada temanku yang pernah berkata bahwa air pegunungan selalu membawa kesedihan para arwah, dan setiap tetesnya adalah janji akan pertemuan tak terhindarkan dengan kesendirian di masa depan yang jauh. Di tengah kehijauan liar yang melingkari mereka, ini tampak seperti anomali, kebahagiaan sesaat yang sebentar lagi akan dilupakan oleh sungai kecil dan lumut yang serakah.

Kami berpose di tepi sungai berkerikil, dengan air terjun yang mengalir tanpa henti di belakang kami, seolah sedang menangisi kesedihan masa lalu dan masa depan sekaligus. Aku berdiri dengan wajah serius. Nana dengan jilbab ungunya tampak seperti bunga langka yang tumbuh di tengah hutan lebat. Iliana memegang kedua tangan kami,sebuah mata rantai kecil yang mengikat dua jiwa.

Kami berdiri di bawah pohon pakis raksasa yang tampak seperti bayangan kuno dari zaman yang telah lama hilang. Di atas kami, jembatan besi melengkung melintas, sebuah janji modernitas yang takkan pernah menembus kesunyian abadi alam liar itu. Aku tahu, saat kami tersenyum di tengah kelembapan abadi itu, kami sedang membingkai sebuah kenangan, sebuah kebahagiaan sempurna yang hanya ada dalam sekejap jepretan kamera.

Di kafe, kami duduk di bangku kayu panjang yang mengilap. Permukaannya memantulkan cahaya biru pucat dari lampu gantung yang tergantung seperti bulan mati di atas kepala. Tak ada yang lebih sunyi di dunia ini selain keheningan buatan di kedai kopi yang hampir kosong. Atap seng bergelombang menahan semua suara hujan.

Di tengah ruangan, seorang pria duduk sendirian di bawah pohon yang dedaunannya tampak abadi. Ia membaca buku atau mungkin menunggu takdir yang tak akan pernah datang. Di tempat ini, di antara rak buku yang kosong dan meja bar yang tak bertuan, waktu melambat hingga menjadi stagnasi yang lengket. Setiap tegukan usucha yang kuminum adalah penolakan terhadap kenyataan, sebuah upaya sia-sia untuk menunda kesendirian abadi yang bersembunyi di balik poster bertuliskan SOCIETY di dinding yang jauh.

Aku melihat Iliana memegang cangkir es krim dengan tatapan begitu serius, seolah sedang menggenggam ramuan ajaib yang memberi rahasia kebahagiaan abadi. Dua gundukan es berwarna merah muda dan ungu tampak seperti perbukitan di negeri dongeng, dibentuk dari gula dan mimpi yang cepat meleleh. Di sebelahnya, Nana duduk, wajahnya separuh tertutup jilbab ungu yang meredupkan cahaya. Wajahnya terpotong oleh batas pandang, seolah ia arwah pelindung yang menjaga anaknya dari kesedihan dunia.

Kami lanjut makan soto Sokaraja. Aku menatap mangkuk sup itu, sebuah kawah dengan pinggiran oranye, di dalamnya tersimpan seluruh sejarah keluarga yang dihidupkan kembali dalam kuah kaldu keruh dan kaya. Kuah itu mengalir bagai sungai emas, membawa aroma kunyit dan serai dari rahim bumi. Di atas permukaannya, potongan daging sapi lembut seolah menyimpan seluruh rahasia kesabaran para leluhur.

Tauge putih dan renyah menari di antara kuah panas, janji kehidupan baru yang tumbuh di atas kematian. Irisan telur oranye kekuningan terperangkap di dalamnya seperti matahari tenggelam di rawa-rawa. Aku tahu, begitu mencicipi sesendok pertama, aku akan dibawa kembali ke masa kecil, ke hari di mana hujan turun selama berhari - hari, dan sup ini menjadi satu-satunya jaminan bahwa aku akan bertahan hidup. Sebuah hidangan abadi, menyimpan kebahagiaan sebuah desa di dalam setiap sendoknya.