Aku memegang dua gelas dawet Banjarnegara. Di dalamnya, cendol hijau dari sari daun pandan berkelindan dengan gula aren yang lahir dari tanah pegunungan, sementara santan pucat menjadi kabut yang menyelimuti masa silam. Minuman ini pernah menjadi persembahan sederhana bagi para peladang yang kembali dari sawah, penawar haus yang mengikat manusia dengan kampung halaman yang tak rela mereka tinggalkan.
Di pasar-pasar Banjarnegara pada awal abad lalu, dawet ini dijajakan oleh perempuan-perempuan tangguh yang memikul pikulan kayu, melintasi jalan tanah, menyeruakkan aroma manis ke udara panas musim panen. Setiap mangkuk adalah cerita keluarga, ekonomi rakyat yang bertahan dari serangan zaman. Ia menjadi saksi bagaimana desa-desa tumbuh, bagaimana perjalanan hidup ditakar dalam segelas cairan manis yang menghapus sementara derita hari itu.
Kini dawet Banjarnegara berdiri di hadapanku, jauh dari tanah asalnya, namun tetap membawa sejarah itu dalam setiap lapisan warna. Aku meminumnya dan merasakan jejak kaki para penjaja yang tak dikenal, kerja keras yang tak tercatat, cinta yang tak meminta balasan. Waktu boleh menua, tapi dawet tetap menjaga ingatan sebuah daerah agar tidak terkubur oleh modernitas yang sombong.
