Sejak matahari perlahan naik turun di Alun-Alun Banjarnegara, aku sudah tahu hari itu akan menjadi epifani kecil bagi Iliana. Di hadapannya, tergeletak seekor bebek mainan, polos seperti janji yang belum terucapkan, menunggu sentuhan ajaib dari jari-jari mungilnya. Aku memperhatikan matanya yang jeli, memancarkan fokus luar biasa, seolah seluruh semesta merangkum dirinya ke dalam tugas sederhana: mewarnai. Bagi anak sekecil dia, ini adalah ritual merayakan imajinasi yang melimpah, sebuah deklarasi hak atas kanvas putih kehidupannya sendiri.
Tangannya menggenggam erat ranting kayu tipis, alat yang dipilihnya sendiri, lebih otentik daripada kuas mewah mana pun. Dengan ketekunan yang dimiliki para filsuf, Iliana melumuri separuh badan bebek itu dengan warna kuning mencolok, kuning yang menyerupai jingga matahari senja. Kuning itu, ku yakini, adalah representasi dari kegembiraan tulus, manifestasi kebebasan yang tak terkekang. Aku sadar, melihatnya, bahwa keindahan hakiki seringkali terletak pada ketidaksempurnaan yang jujur dan pada jiwa yang tak pernah lelah untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan.
Aku bersandar, membiarkan kebisingan Alun-Alun menjadi musik latar bagi pementasan tunggal Iliana, putriku adalah bukti nyata sebuah keajaiban. Aku menyaksikan bebek kuning itu kini hidup, menanti petualangan tak terduga berkat sentuhan artistik Iliana. Di sana, aku menemukan pelajaran paling berharga: betapa seringnya kita lupa bahwa kita semua adalah seniman yang sibuk mewarnai patung bebek kehidupan kita, dan satu-satunya hal yang penting adalah keberanian kita untuk memilih warna yang paling kita cintai, sebab keberanian mewarnai adalah sejatinya keberanian untuk hidup.
