Djago Jowo Purwokerto


Malam itu udara Purwokerto terasa lembap dan sarat dengan aroma tanah yang baru saja disiram hujan. Aku duduk di kursi kayu tua di Djago Jowo, di mana cahaya lampu minyak bergetar lembut di antara bayangan dinding. Di hadapanku, tersaji seekor ayam goreng berwarna keemasan, besar dan berkilau seperti makhluk yang keluar dari legenda nenekku tentang hewan-hewan yang hidup abadi di hutan purba. Aku menatapnya lama, seperti seseorang yang hendak berdoa sebelum meneguk waktu yang sedang berhenti.

Ketika gigiku menembus kulitnya yang renyah, rasa rempah menyeruak dan memenuhi rongga kepalaku dengan kenangan masa kecil: suara ibu di dapur, dengung kompor minyak, dan aroma bawang yang selalu berarti rumah. Setiap potongan daging seperti membawa rahasia yang disembunyikan oleh waktu, tentang petani yang menanam serai di tanah subur, tentang tangan tua yang mengulek bumbu di pagi hari, tentang api yang sabar memanggang nasib di atas tungku. Aku merasa seolah-olah ayam itu telah menempuh perjalanan jauh untuk tiba di piringku malam itu.

Aku makan perlahan, mendengarkan desir angin yang menggoyangkan atap, sementara jam di dinding berdetak tanpa suara. Di luar, kota kecil itu tidur dalam cahaya kuning yang lembut, dan aku merasa menjadi bagian dari keabadian yang sederhana: manusia, makanan, dan kenangan yang tidak ingin pergi. Di Djago Jowo, waktu tidak berjalan lurus, ia berputar di antara gigitan dan napas, dan di antara rasa asin kulit ayam itu aku menemukan sesuatu yang tak dapat dinamai, seperti cinta yang lama hilang namun tiba-tiba kembali dalam bentuk aroma kunyit dan minyak panas.