Guci


Kabut turun begitu pekat hingga rasanya seperti bisa disentuh, seolah setiap helai uap adalah bisikan dari masa lalu yang tak pernah selesai. Saat aku menuruni tangga menuju pemandian air panas Guci, udara dingin menempel di kulitku seperti kenangan yang enggan pergi. Di antara pepohonan yang berdiri seperti penjaga tua, aku merasa seakan melangkah masuk ke wilayah yang tidak sepenuhnya milik dunia nyata, tempat waktu berjalan pelan dan suara manusia hanya gema yang cepat hilang.

Ketika tubuhku tenggelam dalam air hangatnya, aku merasakan sesuatu yang mirip dengan kelahiran kembali. Air itu, yang bagi penduduk setempat disebut anugerah dari perut bumi, mengalir pelan di sekitarku seolah ingin mengajarkan bahwa kenyamanan tidak pernah datang dari kehangatan semata, melainkan dari pertukaran diam antara tubuh dan alam. Setiap gelembung kecil yang pecah di permukaan membawa cerita yang mungkin telah mengendap selama berabad-abad, menunggu seseorang untuk mendengarkannya.

Di kejauhan, atap-atap rumah dan pepohonan tenggelam dalam kabut seperti desa yang perlahan berubah menjadi mimpi. Aku duduk di dalam air itu, membiarkan diriku ditelan suasana yang asing namun akrab, dan menyadari bahwa tempat ini memiliki caranya sendiri untuk mengikat jiwa manusia tanpa ikatan apa pun. Dalam keheningan itu, aku merasa seakan bumi sedang membisikkan sesuatu yang tidak perlu diterjemahkan: bahwa kehangatan sejati hanya muncul ketika seseorang berhenti melawan dingin.