Kemenkeu Mengajar 10 Banjarnegara


Pagi itu, udara Banjarnegara terasa seperti segumpal embun yang enggan pergi meski matahari sudah tinggi. Aku berdiri di halaman sekolah dasar yang sederhana, di antara suara tawa anak-anak yang berlari tanpa beban waktu. Seragam mereka putih dan merah, kontras dengan tanah yang lembap dan aroma tinta spidol yang menguar dari ruang kelas. Di dada mereka tergantung lambang kecil, tapi mata mereka memantulkan sesuatu yang jauh lebih besar dari segala simbol.

Anak-anak itu melambaikan tangan padaku seperti menyapa seorang pelaut yang baru tiba di pelabuhan setelah perjalanan panjang. Mereka tersenyum dengan keyakinan utuh, seolah tak pernah mengenal kata ragu. Aku, yang datang sebagai pengajar dari jauh, tiba-tiba merasa seperti murid pertama yang belajar arti kebahagiaan dari mereka. Setiap wajah kecil itu adalah halaman dari kitab kehidupan yang murni.

Di antara mereka ada seorang anak bernama Rahmad, atau mungkin Rahmat, aku sudah lupa bagaimana ejaan tepatnya. Ia berdiri di depan, matanya memancarkan cahaya pagi yang belum disentuh debu kota. Ketika aku bertanya apa cita-citanya, ia menjawab ingin menjadi guru agar bisa berbagi cerita seperti aku. Aku tidak tahu harus menjawab apa, hanya bisa terdiam.

Angin membawa aroma daun pisang dan tanah basah, menembus sela-sela tawa mereka. Di belakang, beberapa siswa yang lebih tua berdiri dengan baju putih biru, mengamati kami dengan rasa ingin tahu yang terbungkus diam. Aku membayangkan mereka sebagai penjaga waktu, yang menunggu giliran untuk melepaskan masa kanak-kanak mereka seperti layang-layang di langit.

Teman - temanku memulai pelajaran tentang arti uang dan tanggung jawab, tapi kata-kata itu terasa kecil di hadapan semesta yang mereka — para siswa itu — bawa dalam mata mereka. Mereka mendengarkan dengan serius, lalu tertawa ketika kami salah mengucap sebuah kata daerah. Dalam tawa itu, aku mendengar suara yang lebih tua dari usia mereka, suara yang datang dari bumi dan hujan dan nasib yang tak bisa diprediksi.

Ketika istirahat tiba, mereka mengajakku bermain kejar-kejaran di halaman. Sepatuku dan mereka penuh lumpur, tapi aku tak peduli. Aku berlari bersama mereka seperti kembali ke masa di mana dunia belum mengenal jam dan tugas kantor. Mereka memanggilku “Pak Guru dari Jauh,” tapi dalam hati aku tahu, aku hanyalah tamu di kerajaan kecil yang penuh cahaya.

Seorang anak perempuan dengan pita biru di rambutnya menyerahkan bunga liar padaku. Ia bilang bunga itu tumbuh di tepi sungai dekat rumahnya. Aku menerima bunga itu seperti menerima surat cinta dari waktu yang tak ingin dilupakan. Dalam sekejap, aku merasa semua jarak antara kami menguap, dan aku bukan lagi pengajar, melainkan saksi kecil dari kebahagiaan yang lahir tanpa sebab.

Ketika siang datang, langit Banjarnegara berubah menjadi lukisan air yang lembut. Aku berdiri di gerbang sekolah, menatap mereka masuk ke kelas satu per satu. Suara sepatu mereka yang menyeret tanah menjadi musik yang tak akan pernah kutemukan di kota. Aku mencoba mengingat wajah mereka satu per satu, takut suatu hari ingatan ini larut seperti tinta di air.

Malamnya, di rumahku di Binorong, aku menulis tentang hari itu di buku catatanku. Aku menulis bahwa mungkin, dalam hidup yang panjang dan rumit ini, ada hari-hari yang tidak perlu diubah, hanya diingat. Hari ini adalah salah satunya. Aku menulis bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari apa yang kita ajarkan, melainkan dari keberanian untuk belajar dari yang paling sederhana.

Dan ketika aku menutup buku itu, aku sadar sesuatu yang aneh terjadi. Aku merasa seolah sebagian dari diriku tertinggal di halaman sekolah itu, bersama tawa dan lambaian tangan mereka. Barangkali suatu hari aku akan kembali, bukan sebagai pengajar, tapi sebagai seseorang yang ingin memastikan bahwa keajaiban itu masih hidup di antara seragam putih dan merah, di bawah langit Banjarnegara.