Makan Lagi


Malam itu aku makan di We Cook Noodles and Wings bersama Iliana, dan di udara yang lembap aku merasa waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Kipas di sudut berputar pelan seperti sedang menimbang untuk berhenti, sementara aroma minyak goreng dan kecap asin bercampur dengan suara panci beradu dari dapur terbuka. Iliana duduk di kursi tinggi, mengenakan piyamanya yang masih berbau sabun bayi, seolah kami sedang melanggar aturan tak tertulis tentang kapan seseorang seharusnya tidur dan kapan ia boleh makan malam.

Ia tersenyum dengan gigi kecil yang belum lengkap, memegang pelampung biru berbentuk binatang aneh yang tampak seperti datang dari mimpi seseorang yang lupa akan logika. Di hadapannya semangkuk keripik kecil tampak seperti harta karun yang ditemukan di dasar laut, dan aku merasa seluruh dunia menyempit menjadi meja kayu itu, lengket oleh tumpahan teh dan serpihan remah. Setiap detik adalah gema masa depan yang belum sempat kami jalani, dan dalam tawa Iliana aku mendengar janji hari-hari yang belum sempat rusak oleh kesibukan dan waktu.

Aku menatapnya, dan di dalam tatapan itu aku melihat seluruh sejarah kecil keluarga kami, dari hari pertama ia menggenggam jariku hingga malam ini ketika ia memegang mainannya dengan penuh keyakinan bahwa segalanya akan tetap indah. Di luar, lampu jalan bergetar dalam cahaya kekuningan yang samar, seperti doa yang tak selesai diucapkan. Aku tahu saat kami pulang nanti, bau minyak dan teh manis akan menempel di rambutnya, menjadi kenangan yang tak terlihat tapi takkan pernah hilang.