Aku hampir ketinggalan kereta ke arah Solo sore itu. Stasiun berbau logam panas dan hujan yang belum turun, seakan langit menahan napasnya hanya untuk melihat aku berlari. Saat pintu terakhir menutup, aku menyelip masuk dengan napas terengah dan hati yang masih setengah tertinggal di peron. Di dalam gerbong, cahaya sore menyelinap melalui jendela, menabrak dinding abu-abu dan berubah menjadi bayangan lembut yang bergetar di antara para penumpang. Udara diatur pada dua puluh tiga derajat, tapi sore terasa lebih hangat, seperti diam-diam menyimpan sisa matahari di sela-sela kursi.
Aku duduk di dekat pintu, di bawah lampu yang berdesir halus, dan memandangi lorong panjang yang menghubungkan gerbong ke gerbong. Di ujung sana, seorang pria berjaket oranye berdiri dengan punggung menghadapku, menatap pantulan dirinya sendiri di kaca pintu yang tertutup. Setiap kali kereta berguncang, bayangannya bergetar, seolah ragu untuk tetap berada di dunia ini atau menyeberang ke dunia lain yang berjalan sejajar di luar rel. Waktu di dalam gerbong seperti terbuat dari udara yang mengental, menggantung di antara dua kota yang saling menunggu.
Roda besi beradu dengan rel, menimbulkan bunyi panjang yang terdengar seperti kalimat yang tak sempat selesai diucapkan. Aku menatap layar kecil di atas pintu yang menunjukkan suhu dan kecepatan, lalu menyadari betapa segala hal di sini bergerak dengan kepastian yang tak bisa aku miliki. Kereta ini menuju Solo, tapi aku merasa sedang menempuh perjalanan yang lebih sunyi, menuju bagian diriku yang selalu tertinggal setiap kali aku berpamitan. Di luar jendela, cahaya sore mulai pudar, dan di dalam gerbong, waktu terus berputar tanpa suara, seperti doa yang terlalu lembut untuk didengar.
