Nasi Tempong Mak Ros


Hari ini langit Surakarta bergelayut rendah seperti tirai yang menutupi kesedihan kami. Di depan rumah makan de’ Radjiman, waktu seolah berhenti sebentar untuk menyaksikan perpisahan Mas Candra. Kami berdiri berdesakan di bawah papan nama yang sudah renta, huruf-hurufnya seperti menyimpan kisah panjang sejak 1927. Aku bisa merasakan angin lembut membawa aroma nasi tempong dari dapur, bercampur dengan tawa yang berusaha menutupi kegamangan di hati kami. Setiap senyum di foto itu adalah doa yang disamarkan, setiap jabat tangan adalah upaya kecil untuk menahan detik agar tak segera berlalu.

Mas Candra berdiri di tengah, membawa tas kertas sederhana, tetapi di dalamnya tersimpan lebih dari sekadar oleh-oleh, ia membawa sebagian dari kami yang tak akan pernah kembali dengan cara yang sama. Ia berbicara sedikit, seperti orang yang tahu bahwa kata-kata hanya akan memperpanjang kesedihan. Aku memperhatikan matanya yang tenang, seolah ia telah berdamai dengan perpisahan bahkan sebelum hari ini tiba. Dalam diam, kami masing-masing menyusun kenangan tentang makan siang, tawa di sela pekerjaan, dan canda yang sekarang terasa seperti gema yang jauh.

Saat akhirnya kami berpencar, bayangan kami tertinggal di trotoar yang hangat. Aku menoleh sekali lagi ke arah pintu de’ Radjiman, tempat semua suara bercampur menjadi satu nada panjang yang mengapung di udara. Mungkin begitulah perpisahan bekerja, ia tak benar-benar memisahkan, hanya mengubah bentuk kehadiran. Dalam ingatanku, wajah-wajah hari ini akan tetap utuh, tersenyum di bawah langit yang sama, di depan tempat yang diam-diam menjadi saksi lahirnya nostalgia.