Aku tiba di Tani Kopi seperti seseorang yang tersesat ke dalam lipatan waktu, sebab aroma kopi yang menguap dari gelas plastik berisi es itu membawa kembali gema doa-doa yang pernah kupanjatkan di tempat lain dan pada kehidupan yang lain. Di atas tutupnya, embun tipis menggigil seperti rahasia yang menunggu untuk ditafsirkan, sementara kalimat dari kitab suci tercetak seakan menuntutku mengingat bahwa setiap bisikan manusia selalu dikembalikan oleh langit dengan cara yang tak pernah terduga. Ruang kedai yang penuh cahaya itu berdiri diam, tetapi di dalam diamnya aku merasakan denyut yang lebih tua daripada usia bangunannya.
Para pengunjung bergerak seperti bayangan yang belum selesai terbentuk, melintas dari satu meja ke meja lain, seolah waktu meminjam tubuh mereka untuk menandai keberadaannya. Aku duduk di hadapan minumanku, melihat permukaannya yang krem bergolak pelan, dan kurasakan seakan kopi itu menyimpan riwayat panjang tanah yang mengasuhnya: hujan yang mengendap di dalam buah, matahari yang membakar batang-batang, dan tangan petani yang tak disebutkan siapa pun. Setiap tegukan tampak membuka tirai yang memisahkan dunia kasatmata dari dunia yang hanya muncul ketika seseorang cukup diam untuk mendengarnya.
Di luar, alun-alun Banjarnegara bernafas tenang, tetapi di dalam diriku sesuatu bergerak seperti hembusan yang memanggil pulang. Tani Kopi menjadi ruang persinggahan antara apa yang kutinggalkan dan apa yang menungguku, dan dalam jeda itu aku merasa hidupku sendiri berubah menjadi kisah yang ditulis oleh kekuatan yang tak pernah meminta penjelasan. Gelas kopi itu, sederhana dan dingin, menjadi penanda bahwa setiap perjalanan membutuhkan satu tempat untuk berhenti, meskipun hanya sekejap, agar seseorang dapat mengingat namanya sendiri sebelum kembali berjalan.
