Hujan menetes di balik kaca mobil ketika aku menggenggam segelas kopi susu aren dari Wombats Coffee, seolah seluruh kota Yogyakarta mencair menjadi pantulan cahaya yang bergetar. Aroma espresso bercampur manisnya gula aren mengembalikan kenangan yang tak pernah sepenuhnya milik masa lalu, seperti bisikan yang muncul dari kedalaman gelas plastik ini. Aku merasa seakan setiap tetes kopi adalah gema langkah para peziarah rasa yang singgah di Wijilan, di antara aroma legawa gudeg yang menguap dari deretan kios keluarga turun-temurun.
Di kedai itu, barista menyusun espresso dengan ketelitian seorang penyihir rahasia, dan mesin kopi memuntahkan kehidupan seperti makhluk kuno yang masih enggan tidur. Ruangan kecilnya menjadi tempat pengasingan sementara bagi manusia-manusia yang melarikan diri dari rutinitas, tersambung pada Wi-Fi seakan jaringan tak terlihat itu dapat menahan waktu agar tak menua terlalu cepat. Di meja-meja kecil, percakapan tumbuh lalu layu, namun secangkir kopi memperpanjang usia setiap percikan mimpi.
Kini, duduk dalam perjalanan malam, aku merasakan kehangatan samar dari kopi yang menyeimbangkan dingin hujan di luar. Aku menyesapnya dengan keyakinan bahwa rasa sederhana ini menyimpan sihir yang tidak akan pernah dipamerkan terang-terangan. Dan dalam tiap tegukan, aku percaya bahwa bahkan sebuah tempat kasual yang ramah komunitas pun dapat menjadi benteng sunyi bagi mereka yang mencari diri sendiri di sela lampu kota yang redup.
