Aku masih ingat samar - samar ketika itu, tahun 2005, 20 tahun yang lalu. Matahari turun perlahan, bayang-bayang rumah memanjang di halaman. Aku bermain bola dengan gawang sandal yang ditumpuk, terdengar sayup suara azan magrib,. Dari dapur, ibu memanggil, suaranya bercampur aroma nasi hangat dan telur ceplok. Aku menjawab tanpa beranjak, yakin waktu akan menungguku.
Malam menutup hari dengan lampu kuning dan cerita yang diulang-ulang. Ibu duduk di tepi ranjang, suaranya pelan dan teratur. Aku mendengarkan sambil menghitung nyamuk, merasa aman di bawah selimut tipis. Tak ada rencana besar, hanya keyakinan bahwa esok pasti datang. Kenangan-kenangan sederhana itu, seperti kelereng yang terselip di saku. Kecil dan mudah terlupa, tetapi setiap kali kutemukan kembali, hatiku tahu persis ke mana harus pulang.
Dari hari-hari itulah aku belajar tentang ibu. Ia adalah sekolah pertamaku yang tak pernah mengeluarkan rapor. Ia mengajar lewat contoh, bukan ceramah. Dari dapur yang mengepul, aku belajar kesabaran. Dari cucian yang tak habis-habis, aku memahami ketekunan. Dari senyumnya yang bertahan meski lelah, aku mengerti bahwa cinta tidak selalu bersuara keras. Ia sering berbisik, namun bertahan paling lama. Ibu mengumpulkan sisa-sisa hari, menambalnya menjadi harapan, lalu memberikannya sebagai bekal perjalanan jauh, dalam bentuk doa paling murni.
Ketika dewasa, 22 Desember selalu datang dengan langkah pelan, seperti ibu yang membuka pintu kamar saat subuh-subuh, memastikan lampu tidur masih menyala dan hati tetap hangat. Hari itu tak pernah gaduh. Ia hadir sebagai rangkaian kenangan tentang tangan yang merapikan rambut, suara yang menenangkan ketika dunia terasa terlalu besar, dan doa-doa yang dipanjatkan diam-diam agar anaknya tumbuh lebih berani daripada rasa takut.
Pada Hari Ibu, aku mengerti bahwa penghormatan terbaik bukan sekadar kata-kata, melainkan pulang ke rumah ibu dengan sikap yang lebih baik. Menjadi jujur dalam kerja, setia pada janji, dan lembut kepada sesama. Di sanalah ibu menitipkan mimpinya. Pada langkah yang terus maju dan keberanian mencintai hidup meski tak selalu adil. Dua puluh dua Desember mengingatkan satu hal sederhana dan abadi, sejauh apa pun aku pergi, selelah apapun bekerja, selalu ada doa yang berjalan di belakangku, memastikan aku tidak pernah benar-benar sendirian.