Car Free Day Sukoharjo


Pagi itu aku berjalan menyusuri Car Free Day Sukoharjo, ketika matahari masih malu-malu di balik ranting pohon besar yang menaungi jalanan. Udara dipenuhi aroma jagung bakar, kopi sachet, dan tawa orang-orang yang belum ingin terburu-buru menjadi serius. Di pinggir trotoar, seorang penjual gorengan sedang sibuk mengaduk wajan besar, minyak berdesis seperti radio tua yang menangkap frekuensi dari masa lalu. Di balik kios kecil bertuliskan tahu crispy dan jamur crispy, ada kehangatan sederhana yang tak muncul dari bahan baku, tapi dari kesungguhan.

Aku berdiri cukup dekat untuk mendengar percakapan kecil antara pembeli dan penjual, tentang cuaca, tentang anak mereka, tentang harga minyak goreng yang naik turun seperti mood remaja. Di belakangnya, orang-orang lalu lalang: ada yang jogging sambil berkeringat, ada yang sibuk memilih pakaian yang digantung rapi, ada pula keluarga kecil berjalan sambil menggandeng erat satu sama lain, seolah takut kebersamaan bisa hilang bila dilepas terlalu lama. Semuanya bergerak seperti orkestra tanpa dirigen, namun entah bagaimana tetap serasi.

Dari momen itu aku memahami bahwa hidup bukan tentang ke mana langkah pergi, tetapi bagaimana kita menghayati langkah itu. Keramaian Car Free Day bukan hanya aktivitas mingguan, ia pengingat bahwa manusia selalu mencari jeda dari kesibukan, jarak dari ambisi, dan ruang untuk mengingat bahwa rasa syukur lebih penting daripada kecepatan.