Langit sore itu seperti guru tua yang sabar, mengajar tanpa papan tulis. Jingga dan ungu berbaur, seolah cat air bocah kampung yang tak pernah takut salah. Aku menengadah dan merasa kecil dengan cara yang menyenangkan. Awan melayang perlahan, seperti kapal kertas yang dilepas dari tangan anak-anak yang percaya laut selalu ramah.
Aku teringat diriku sendiri, yang sering ingin cepat sampai, cepat berhasil, cepat selesai. Padahal senja tidak pernah terburu-buru menjadi malam. Ia berlama-lama, memberi waktu bagi cahaya untuk berpamitan dengan sopan. Dalam diamnya, aku merasa ditemani. Tidak ada sorak, tidak ada janji, hanya keyakinan bahwa hari ini, betapapun melelahkan, layak ditutup dengan keindahan.
Aku percaya bahwa meredup bukan berarti kalah. Seperti senja, manusia pun boleh perlahan, asal tetap setia pada cahaya di dalam dirinya.
