End Year Blues

Desember berjalan pelan, seperti halaman terakhir buku yang kubaca sambil menahan kantuk di bangku plastik warung Indomie dekat terminal. Uap mie naik bercampur bau solar dari bus yang datang dan pergi. Aku memandangi kalender lusuh di dinding, satu sudutnya robek, menghitung hari tersisa seperti menghitung koin receh di saku jaket. Tahun ini terasa panjang, penuh tikungan dan lubang. Namun ketika sampai di ujungnya, rasa kosong justru menekan dada, seolah aku berlari jauh tetapi garis finisnya kabur.

Kenangan setahun ini muncul berbaris, tidak rapi seperti yang kubayangkan. Janji bangun pagi yang patah di minggu ketiga awal Januari tahun ini. Di ponsel, linimasa menampilkan foto wisuda, promosi, dan liburan orang lain. Layarnya terang, tetapi pantulannya di wajahku buram. Di titik itu End Year Blues duduk di seberang meja, mengetuk sendok ke mangkuk, bertanya kenapa aku belum juga sampai.

Aku hampir berdiri dan pulang, ingin menutup tahun ini lebih cepat. Namun aku teringat nasihat lama yang pernah kubaca di belakang truk, hidup bukan soal tiba, melainkan berusaha berjalan terus - menerus. Aku memesan kopi di Warmindo ini, pahitnya lebih keras dari biasanya. Suara bubuk kopi beradu dengan sendok, hangatnya menempel di telapak tangan. Aku tersenyum kecil. Ternyata aku masih di sini, masih bernapas, masih membawa cerita yang belum selesai. Hari - hari di akhir tahun terasa seperti bukan palu penutup, melainkan koma yang memberiku jeda.

Kalender belum benar-benar menutup mulutnya. Masih ada beberapa hari, kecil dan kerap diremehkan, tetapi cukup untuk kucoba jalani habis - habisan. Aku ingin memeras sisa waktu ini seperti jeruk nipis terakhir di dapur, berharap setetes makna jatuh ke gelas. Bahkan jika hasilnya tak seberapa, setidaknya aku tahu aku tidak membiarkannya mengering diam-diam di dalam kulkas.

Malam turun perlahan. Lampu terminal menyala satu per satu, bunyi klakson memantul di langit rendah. Aku pulang dengan langkah yang tidak lagi berat, meski End Year Blues belum sepenuhnya pergi. Ia mengecil, memanjang di aspal seperti bayangan saat matahari condong. Tahun boleh berakhir, harapan tidak. Besok, aku masih akan menulis halaman dengan tinta yang sama, dan jika masih gemetar, aku akan tetap menulis.