Hampir Tengah Malam


Jalan kecil di perumahan itu terasa seperti lorong waktu yang sunyi. Lampu-lampu teras menyala redup, memantulkan cahaya kekuningan pada dinding rumah yang tertata rapi, seolah semua penghuni sedang tertidur dalam mimpi panjang tentang hari yang lebih ringan. Udara malam bergerak perlahan, membawa wangi tanah yang masih basah oleh hujan sore tadi. Di kejauhan, hanya ada satu dua suara motor yang lewat dan menghilang seperti bayangan yang tak mau dikenali.

Aku berjalan sendirian menyusuri aspal yang retak di beberapa bagian, mengamati genangan kecil yang memantulkan bulan dengan canggung. Ada sesuatu yang damai, sesuatu yang tidak bisa ditemukan pada siang hari ketika dunia terlalu sibuk dengan ambisinya. Rumah-rumah ini, yang di siang hari dipenuhi percakapan tetangga, suara anak-anak, dan langkah kaki yang tergesa-gesa, kini menjadi saksi bisu bahwa kesunyian tak pernah benar-benar kosong. Ia selalu membawa cerita.

Dari malam itu aku mengerti, keheningan bukan pertanda sepi, ia adalah ruang bagi pikiran untuk pulang. Dunia yang ribut sering membuat manusia lupa mendengar suara hatinya sendiri. Tetapi pada malam menjelang tengah malam di sebuah perumahan biasa, hidup tiba-tiba menjadi lebih jernih, cukup dengan diam.