Lampu merah menyala di persimpangan itu, dan aku berhenti bersama deretan pengendara lain. Langit senja tampak seperti permukaan air yang luas dan dingin, menyimpan sesuatu yang tak bisa kutebak. Angin lewat pelan di antara jaket dan kulitku, membawa bau aspal yang baru saja lembap oleh hujan sebelumnya. Di momen diam seperti ini, aku merasa seolah waktu menggantung di udara, tidak bergerak, hanya menunggu seseorang menekannya agar terus berjalan.
Di depanku, pengemudi ojek online dengan jaket hijau menatap lurus ke arah horizon yang memudar, seakan ada sesuatu di sana yang ingin ia kejar. Orang-orang lain melebur dalam bunyi mesin yang rendah, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Ada semacam kesunyian yang aneh, kesunyian yang tidak berasal dari ketiadaan suara, tetapi dari jarak yang tercipta antara satu manusia dengan manusia lainnya. Aku menyadari bahwa di lampu merah seperti ini, kita semua hanyalah titik-titik kecil yang kebetulan berhenti pada koordinat yang sama.
Ada sesuatu yang ingin diajarkan oleh senja itu, bahwa hidup sering memberi kita jeda singkat di tengah perjalanan. Jeda yang terlihat sepele, namun justru bisa membuat kita menoleh ke dalam diri sendiri. Dalam diam lampu merah dan langit yang perlahan gelap, aku mengerti bahwa kadang kita perlu berhenti, bukan karena kita ingin, tetapi karena dunia meminta kita diam sejenak agar hati bisa kembali menemukan arah.
