Aku duduk di meja kayu itu sambil memperhatikan dua orang yang selalu membuat dunia terasa lebih sederhana. Iliana sibuk mengaduk minumannya, seolah es yang perlahan mencair adalah teka teki kecil yang harus ia pecahkan malam itu. Nana menatapnya dengan raut lembut yang sulit digambarkan, raut yang hanya muncul ketika seseorang melihat sesuatu yang ia sayangi lebih dalam daripada kata-kata yang pernah ia ucapkan. Di hadapan kami, mangkuk mangkuk mie tersusun seperti barisan cerita yang menunggu giliran untuk dinikmati.
Aku merasakan kehangatan yang aneh, bukan dari makanan yang masih mengepulkan uapnya, tetapi dari percakapan yang tidak pernah benar-benar terjadi. Kami hanya duduk, membiarkan waktu berjalan perlahan. Iliana menyentuh sedotannya lagi lalu tertawa kecil karena es di permukaannya hampir melompat keluar. Nana tersenyum, mungkin karena momen seperti itu tidak pernah gagal membuatnya merasa utuh. Dan aku hanya mengamati, mencoba menangkap detail kecil yang akan hilang jika aku berkedip terlalu lama.
Dari mangkuk-mangkuk sederhana itu, aku belajar bahwa kebahagiaan sering lahir tanpa perayaan, tanpa rencana, tanpa syarat apa pun. Ia muncul begitu saja di tengah malam biasa, di meja makan biasa.
