O


Sore tadi hujan turun, dan malam ini tanah masih lembap ketika aku berdiri dalam antrean panjang di depan gerai Roti O yang kuning bercahaya seperti peti harta karun di tengah gelap kota. Aroma roti yang baru keluar dari oven merambat pelan melalui udara malam, menggelitik perutku yang sejak tadi hanya dihibur suara kipas angin kantor. Lampu jalan memantulkan sinarnya di genangan air, membuat antrean manusia tampak seperti rombongan pejalan yang sedang mencari kehangatan setelah jauh berkelana.

Orang-orang di depanku saling berbicara pelan, ada yang menggoyang-goyangkan kaki karena lelah, ada yang menatap oven dengan pandangan penuh harapan, ada pula yang sekadar menikmati malam sambil memeluk jaketnya erat-erat. Aku ikut diam dalam antrean itu, mengamati betapa sebuah roti hangat bisa menjadi magnet bagi orang-orang dari segala penjuru, masing-masing membawa kisahnya sendiri. Lampu toko memancar terang, dan entah mengapa, cahaya itu terasa seperti undangan ramah agar kami tetap sabar menunggu giliran.

Di antara riuh kecil malam itu, aku kembali belajar bahwa kesabaran bukan hanya tentang menunggu sesuatu yang lezat, tetapi tentang memahami bahwa setiap hal memiliki waktunya sendiri. Seperti antrean ini, hidup pun berjalan pelan, bergerak satu langkah demi satu langkah, dan pada akhirnya selalu ada momen hangat yang menanti jika kita mau berhenti mengeluh dan mulai menikmati perjalanannya.