Di senja yang hampir runtuh ke malam itu, aku melihat Iliana berdiri di depan papan rusa kartun yang tersenyum seolah dunia memang diciptakan untuk memanjakan masa kecil. Lampu-lampu kafe di belakangnya memantulkan cahaya hangat pada rambutnya, membuatnya tampak seperti tokoh kecil dari buku cerita yang dulu sering kubaca diam-diam di bawah lampu meja. Tawa Iliana pecah, jernih, lepas, dan menular, hingga aku sendiri ikut terseret ke dalam keriangan sederhana yang sudah lama tidak kurasakan.
Ia berdiri di antara pepohonan dan rumput-rumput yang bergerak pelan diterpa angin, sementara lampu kota berkelip-kelip seperti bintang-bintang yang tersesat. Iliana menatap rusa kartun itu dengan mata berbinar, seolah makhluk itu benar-benar hidup dan hendak mengajaknya bermain ke negeri dongeng. Melihatnya begitu bahagia, aku merasa dunia ini tiba-tiba menjadi lebih lunak, lebih sabar, dan lebih indah, setidaknya selama ia masih tertawa seperti itu.
Dan dari momen kecil itulah aku mendapat hikmah, bahwa anak-anak sering kali mengajari kita cara melihat dunia kembali, bukan lewat hal besar, melainkan melalui tawa, rasa ingin tahu, dan kemampuan mereka menemukan keajaiban di tempat yang tidak pernah kita duga. Kadang, kebahagiaan hanya menunggu kita menunduk sedikit dan melihat dari sudut pandang mereka.
