Lampu merah menggantung di atas persimpangan, menyala tanpa ragu, seolah ia tahu semua orang akan patuh. Aku berhenti, kaki menapak aspal yang mulai gelap oleh sisa hujan. Motor-motor melintas dari arah kanan, wajah-wajah di balik helm lewat begitu saja, tidak saling mengenal, tidak saling peduli. Langit masih biru pucat, lampu jalan baru saja hidup, dan aku berdiri di antara siang yang selesai dan malam yang belum benar-benar datang.
Aku menunggu tanpa alasan besar. Tidak sedang dikejar waktu, tidak pula benar-benar santai. Di depan sana, jalan terbentang lurus, menuju tempat yang akan tetap ada meski aku terlambat atau terlalu cepat. Aku menyadari betapa kecil posisiku di persimpangan ini, hanya satu tubuh di antara arus kendaraan, satu pikiran di tengah banyak tujuan. Lampu merah tetap menyala, dan aku tetap diam.
Pada jeda singkat itu, aku mengerti sesuatu yang sederhana. Tidak semua berhenti adalah kegagalan, dan tidak semua bergerak berarti maju. Ada saat ketika patuh pada lampu merah adalah bentuk menjaga diri, memberi ruang agar hidup tetap berjalan tanpa tabrakan. Menunggu ternyata bukan kehilangan waktu, melainkan cara halus untuk tetap selamat.
